Minggu, 04 September 2011

Wisata Tempat Desa Lamalera


Lamalera terletak di Kecamatan Wulandoni yang terdiri dari 2 sub desa yaitu : Desa Lamalera A dan Lamalera B. Di desa Lamalera ini pengunjung dapat menikmati obyek wisata budaya dan bahari yakni perburuan ikan paus secara tradisional yang hanya mempergunakan peralatan tradisional seperti peledang (perahu kayu tanpa mesin tetapi dengan menggunakan layar) dan tempuling (tombak yang ujungnya berkait yang terbuat dari baja) yang digunakan untuk menikam ikan paus. Perburuan tersebut biasanya hanya dilakukan pada bulan Mei sampai September saja yang dikenal dengan musim Leva (Musim Turun Ke Laut). Setiap tahun sebelum melaut, masyarakat setempat mengadakan upacara Leva yang merupakan perpaduan upacara adat setempat dengan tradisi Gereja Katolik dengan tujuan meminta berkah dan mengenang kembali arwah para nelayan yang telah meninggal dunia di laut.
Musim Leva ditandai dengan Misa Leva setiap tanggal 01 Mei setiap tahun. Setelah itu barulah dimulai kegiatan Leva (melaut). Pengunjung dapat menikmati wisata budaya tersebut dengan bergabung bersama masyarakat setempat dalam upacara Leva dan perburuan ikan paus. Disamping itu dapat juga menikmati wisata laut (Snorkeling, Diving) dan menyaksikan proses pembuatan tenun ikat tradisional serta kerajinan berupa anyaman-anyaman dari daun lontar dan gebang dari Lewoleba. Untuk menuju daerah ini pengunjung dari Lewoleba dapat menempuh perjalanan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dalam waktu 3 sampai 4 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 54 km. Sebagai home stay, pengunjung dapat menyewa di Lamalera.

Sabtu, 03 September 2011

Ujung dunia bernama lamalera,sarang GT Monster yang sedang gelisah

Pada tanggal 17-25 Februari 2010 lalu saya bersama ‘kapten’ Mancing Mania Trans 7 Mas Dudit Widodo dan Denis, Santoso dan Rudi Hadikesuma (pemancing Surabaya) melakukan trip mancing ke salah satu fishing ground terpencil bernama Lamalera di Pulau Lembata. Pulau indah yang sangat jauh, entah berapa ribu kilometer jika diukur dari Jakarta. Dari Bali jarak pulau ini sekitar 800 kilometer. Letak pulau ini ada di timur Pulau Flores atau beberapa ratus kilometer di timur Pulau Alor. Pulau kecil yang kondang ke seluruh penjuru dunia karena di Lamalera ada tradisi kuno yang telah berlangsung ratusan tahun yakni berburu paus sperm whale (dalam bahasa lokal disebut koteklema) dengan tempuling (tombak khas Lamalera). Tradisi yang masih hidup dan menghidupi Lamalera hingga kini.

Meski memiliki ‘halaman’ indah di sebelah selatan yang bernama Laut Sawu namun orang-orang Lamalera menurut saya bukanlah pelaut ataupun nelayasn. Mereka adalah pemburu. Tanah berbatu keras yang sangat sulit ditanami tanaman pangan membuat mereka turun ke laut dengan tombak untuk memburu paus, lumba-lumba, dan ikan pari. Itulah kenapa banyak risalah yang menyebutkan bahwa Lamalera adalah kampung para pemburu laut (sea hunters), bukan kampung nelayan/pelaut (fisherman). Bagi Anda yang belum tahu tentang Lamalera silahkan klik saja ke Google karena ribuan informasi tentang Lamalera berserak disana. Bukti bahwa Lamalera ini sangat terkenal. Jadi saya tidak heran saat pada tanggal 18 Februari pukul 14.00 WITA menginjak rumah Abel O. Beding, tokoh orang Lamalera, maka buku tamu yang ada di terasnya penuh dengan coretan tangan dari orang dari berbagai penjuru bumi.

Trip yang memerlukan persiapan matang baik logistik, tackle, fisik dan mental karena untuk sampai ke Lamalera saja kita harus menempuh perjalanan dengan berbagai moda transportasi yang panjang dan melelahkan. Berbagai keterbatasan infrastruktur khas daerah terencil semakin menguras tenaga siapapun yang berusaha menggapai ujung dunia ini. Namun saya jain, jika kita sudah menginjak Lamalera, segala lelah akan sirna karena kampung eksotis ini dihuni oleh orang-orang taat yang ramah. Mereka sangat riang dengan kehadiran pendatang. Salam hangat selalu diucapkan oleh siapapun yang berpapasan dengan kita. What a nice people!

Kami pun segera melangsungkan trip kami dengan membangun basecamp di Waiteba, sekitar 20an mil di timur Lamalera. Ini adalah lokasi strategis untuk bergerak ke spot-spot popping incaran kami. Waiteba adalah pantai kosong yang dulunya kota kecamatan yang musnah disapu tsunami besar tahun 1979. Praktis kami harus mengangkut segunung peralatan dan logistik untuk dipindahkan ke sini mulai dari beras hingga genset. Tiga tenda dome dan dua tenda besar dari terpal kami bangun untuk menampung kami dan barang-barang. Untungnya kamp kami cukup menarik karena berada di dekat sebuah sungai yang berair jernih. Kebutuhan air tawar dan mandi tidak perlu dirisaukan. Mancing popping selama 4 hari 3 malam tentu tidak nyaman bukan jika tidak bisa mandi?

Dan Lamalera memang luar biasa. Selama waktu itu piranti popping kami yang berkelas PE8 dan PE10 tiap hari harus bekerja keras untuk menaklukkan ikan-ikan GT monster penghuni beberapa tanjungan berarus deras yang disebut kala-kala. Rudi Hadikesuma dan Mas Dudit mungkin sudah tidak terlalu exciting lagi karena pernah kesini beberapa kali. Denis juga sudah pernah kesini September 2009 lalu. Jadi hanya saya dan Santoso saja yang pertama kali ke Lamalera. Entah berapa banyak ikan kami dapatkan. Tak terhitung lagi big strike dan line break di sini. Tetapi memang yang benar-benar monster, maksud saya 30 kg up tidak sampai selusin jumlahnya. Namun banyaknya strike dari GT berukuran 15-25 kg membuat saya hormat dengan spot mancing terisolasi ini. Hari keempat kami pun kembali ke Lamalera dengan kepuasan tinggi meski suasana tim agak murung karena santoso, Rudi dan Mas Dudit agak terganggu kesehatannya. Yah, umur memang tidak bisa dibohongi karena Rudi yang paling muda telah berumur lebih 45 tahun.

Rabu, 24 Februari kami kembali berada di pantai Lamalera. Lagi-lagi untuk pergi, namun bukan pergi memancing, melainkan pulang. Felmina kembali didorong terjun ke air oleh Stanis dan kawan-kawannya. Selalu unik ‘ritual’ dorong perahu ini karena mereka saling berteriak dalam bahasa lokal yang tidak saya mengerti. Dan biasanya usai kapal turun di air selalu ada yang nyeletuk,”buka bir sudah!”. Lucu sekali. Kami segera menaikki Felmina dan segera bergerak meninggalkan Lamalera. Dalam hati, saya masih ingin tinggal.

Saya mendengar sedang ada gelisah di kampung kecil ini. Katanya, mulai tahun lalu pemerintah yang bekerjasama dengan sebuah LSM internasional melarang perburuan paus di wilayah ini karena Laut Sawu dijadikan lokasi konservasi paus sperm whale. Program yang menurut saya dibuat terburu-buru untuk ‘cari muka’ di ajang WOC (World Ocean Conference) yang berlangsung di Menado tahun lalu. Apakah mereka pernah melihat dengan mata kepala sendiri kehidupan dan tradisi berburu paus di Lamalera ini? Program konservasi paus sangat menarik, sangat gagah, tetapi bagaimana dengan orang-orang Lamalera?

Felmina yang didorong mesin 25 PK semakin menjauh meninggalkan Lamalera. Perlahan kampung kecil bersahaja itu menghilang ditelan tanjungan. Angin dari selatan mulai datang menghempas sisi kiri kapal. Apakah tahun ini paus akan datang ke Lamalera? Saya teringat seorang warga berkata bahwa jalur migrasi paus katanya telah dialihkan oleh sebuah lembaga dengan mengebom jalur migrasinya di dekat Lamalera. Karena paus sangat sensitif, biasanya cara ini efektif untuk memindahkan mereka ke jalur lain. Buktinya tahun lalu tidak satu ekorpun paus berhasil mereka tangkap kata mereka. Tak terasa Tanjung Naga telah terlewati, dua jam lagi Larantuka kami jelang, lalu Maumera, lalu esok Jakarta, lalu sebuah pondokan kecil di sudut Jakarta. Meski telah jauh Lamalera, doaku untukmu semoga paus-paus itu kembali mengunjungimu. Dan semoga ikan-ikan GT monster terus tinggal di pantai-pantaimu dengan damai tanpa gangguan bom dan racun laknat para pengeruk

rumah maya Maria D. Andriana


Tanggal 4 April 2008, akhirnya Bona dan Weni menikah juga. Peresmian pernikahan ditandai dengan Misa untuk pemberian sakramen pernikahan di Gereja Katolik Matraman pada pukul 15.00. Bertindak sebagai saksi Bapak dan Ibu Ignas Kleden. Biasanya, tidaklah mudah untuk mencari romo/pater yang akan memimpin pemberkatan pernikahan. Tapi Bona dan Weni boleh bangga, karena ada banyaaaaak rohaniwan yang mengesahkan pernikahan mereka. Bukan hanya seorang romo, tetapi ada lima pemuka agama yang memimpin misa. Mereka adalah Pater Leo Kleden, Pater Alex Beding, Pater Charles, Pater Sebast ... siapa seorang lagi, kok lupa. Di deretan tamu, masih ada Romo Dipo.
Kedua mempelai mengenakan busana yang serasi, Weni dengan kebaya warna krem, potongan dan jahitannya sempurna, dengan tata rias rambut dan wajah yang elegan khas Jawa, sedangkan Bona mengenakan kemeja sutra (?) warna krem yang dirancang khusus dengan aksen tenun ikat.
Wajah mereka berseri-seri ketika memasuki gereja diiringi kedua orang tua Weni, Bapak Anton dan Ibu Endang (wah namanya akrab karena kami sering membuat canda), dan Bapa Mani (Elly Blia) serta Mama Clara (bapa kecil dan mama kecil Bona).
Para tamu adalah kerabat dekat dan teman-teman terlihat Mbak Hermin Kleden, Ayu Utami, Mas Rahardi, Mbak Indri, Romo Dipo, Mbak Erry Seda, Ibu Bernadeth wah... banyak yang lupa  nih.
Selama misa dan pemberkatan berlangsung, Ardiles sibuk memotret... sementara paduan suara mengalunkan lagu-lagu yang indah.
Usai pemberkatan, pengantin dan kerabat mempersiapkan diri untuk melanjutkannya dengan pesta di gedung yang terletak di seberang gereja.
Pesta pun berlangsung meriah, ada live band, menari ... (ini pasti tidak ketinggalan), tua-muda, laki-laki dan perempuan semua menari... bahkan para kerabat yang sengaja datang khusus dari Lamalera.
Hidangan terus mengalir, selain masakan-masakan yang lazim tersaji pada pesta-pesta, ada meja khusus yang menyajikan masakan khas asal pengantin pria, rumbu rampe, jagung titi...
Menari, makan, menyanyi dan bercanda. Ada beberapa tamu yang sama dengan tamu pada pemberkatan pernikahan, tetapi juga banyak lagi tamu lain yang hadir hanya pada resepsi misalnya Oscar Motulloh, Hermanus dan Nana, Mbak Yani Kardono, Mas Peter Gero.
Ada hal unik pada pernikahan ini. Cincin kawin pengantin terbuat dari gigi paus orca yang dalam bahasa Lamalera disebut Seguni. Mungkin ini cincin kawin yang tiada duplikatnya. Gigi orca diperoleh ketika nelayan Lamalera menangkap paus tersebut beberapa waktu yang lalu.
Bona dan Weni, selamat mengarungi bahtera kehidupan dalam satu keluarga baru. Apa yang sudah dipersatukan Allah janganlah diceraikan oleh manusia.
Selamat.




Berita jumat pagi di TransTV, nelayan Bengkulu telah berhasil menangkap seekor Pari Raksasa, sepanjang 4 meter (lebar sayap) dengan bobot seberat 700kg di perairan Bengkulu.  Pari tersebut terjerat oleh jaring nelayan dan dibawa kedarat setelah menempuh waktu dua jam dari lokasi penangkapan.   Sampai didaratan Pari tersebut sudah mati, dan dijual dengan harga Rp. 2.000 per kg.

Pembawa berita hanya menunjukan expresi yang biasa saja, dan ada kesan seperti keberhasilan dari seorang nelayan menangkap ikang pari yang langka ini.  Tampa ada menyinggung jika ikan pari ini (Manta Ray) termasuk binatang yang dilindungi (CITES listing).

Saran buat reporter TransTV dan crew di lapangan, agar lebih sensitip didalam melaksanakan tugasnya.  Jika mendapatkan kejadian seperti ini sebaiknya lebih menekankan unsur pendidikan; bagi si nelayan dan juga bagi pemirsa dirumah. Tidak hanya sekedar menyampaikan berita.  Crew lapangan bisa mewawancarai nelayan tersebut mengenai ikan pari yg ditangkap, dan pemberitaan di TV memasukan juga berita kalau pari raksasa ini masuk binatang langka yg dilindungi.

Masih banyak lagi pengkapan seperti ini terjadi dipelosok indonesia...  bahkan Dugong diperairan timur indonesia masih suka di buru hanya untuk diambil taringnya untuk pipa rokok, karena kurangnya pengetahuan dari penduduk setempat akan langkanya binatang tersebut.  Demikian juga dengan pemburuan Paus di Lamarera, lembata, Tarantuka.....  malah dijadikan aktrasi wisata, dari satu per tahun yg diburu (adat lama).  Sekarang beberapa ekor paus yang diburu demi tontonan wisatawan...  benar tidak?.  Saya hanya baca di internet, dan tidak pernah berminat untuk menyaksikan pembantaian tersebut.

Ini ada blog dari anak flores..

”Sudah turun temurun, warga Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, dikenal sebagai nelayan pemburu koteklema atau paus jenis sperm whale, yang merupakan sumber hidup mereka”.

Mungkin sudah saatnya mereka musti mulai merubah kebiasan ini, agar kehidupan ekonomi mereka yang miskin bisa berubah..  Saya melihat mereka menjadi termanjakan, dengan hasil laut yang mencukupi untuk kehidupan satu tahu. (atau pendapat saya salah).  Semoga ada anak Flores yang lebih pintar untuk merubah kondisi mereka saat ini...

Kalau jadi reporter, jadilah reporter yg baik...
Kalau jadi tukang sapu, jadi lah tukang sapu yg baik...
Pilosophy seorang Samurai sederhana saja..
Itu yang bikin jepang jadi negara maju..

Semoga kita bisa berbuat yang lebih baik dalam segala kesempatan yang ada.  

Salam peduli...
Tigor

Tenun Ikat Flores


Tenun Ikat Flores (Keragaman Corak dan Ragam Hias)
PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan
mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya. Pengaruh-pengaruh tersebut
memperkaya budaya suku-suku di Flores yang jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku.
Setiap suku 'mempunyai bahasa dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal
orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo, sedangkan di
bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka. Sebagian besar masyarakat
Flores hidup dari bercocok tanam dan berternak kerbau dan kuda. Kedua jenis hewan tersebut
dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan pada umumnya kuda juga berfungsi
sebagai alat transportasi. Kepandaian menenun ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah
dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu
kebiasaan memakan sirih dilakukan wanita Flores, khususnya penenun, di sepanjang hari saat
bekerja. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai
selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai
penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun
ikat juga digunakan sebagai perlengkapan upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian
upacara, dan mas kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan
dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna sintetis, kini benang rayon juga
digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat yang
dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari
kapas, juga masih ada.
Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya
sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk
geometris aneka warna yang cerah dan menyolok. Kain tenun dari daerah Manggarai banyak
menggunakan warna kuning keemasan, merah, dan hijau.
Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi.
Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu-¬minggu, bahkan kadang-kadang sampai
berbulan-bulan. Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung,
meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. Ketika
kerajaan-kerajaan kecil di Flores masih ada, sejumlah orang bekerja khusus sebagai pembuat
kain-kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja-raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan
pakaian adat berdasarkan status sosial (golongan bangsawan atau rakyat jelata), maka masa
sekarang tidak lagi. Sekarang kain-kain tenun dibuat untuk dijual ke pasaran lalu dijual lagi
kepada mereka yang membutuhkannya. Pesanan dengan kualitas khusus masih dilayani
dengan harga khusus pula.
Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun adalah Manggarai, Ngada, Nage Keo,
Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan Lembata di bagian timur Flores.
 1 / 7Tenun Ikat Flores
Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat
adalah benang lungsi.
Manggarai dan Ngada
Di daerah Manggarai ada teknik lain pembuatan ikat, yaitu menggunakan lidi-lidi pengungkit
dalam proses penenunan untuk menghasilkan pakan tenun songket tambahan. Di daerah
Ngada, Flores Tengah, juga terdapat kain tenun songket warna kuning emas sebagai pengganti
songket benang emas. Kain-kain tenun songket Flores di atas latar tenunan benang kapas ini
mempunyai banyak persamaan dengan kain-kain songket dari Sumbawa. Menurut tinjauan
sejarah wilayah sebelah barat Flores dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan
Bima-Sumbawa yang memiliki kain-kain tenun songket benang emas dan perak untuk kalangan
raja-raja Bima. Hal ini membawa pengaruh yang cukup kuat di daerah sebelah barat Flores,
sehingga mereka pun mempunyai tradisi membuat kain tenun songket walaupun tidak
menggunakan benang emas dan benang perak.
Selain kain songket, masyarakat Ngada juga membuat kain tenun ikat. Tenun ikat yang mereka
buat menggunakan warna-warna gelap, antara lain dengan kombinasi warna biru dan cokelat,
dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang
menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif floral. Jalur ikat ini
dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil lain berwarna putih, merah, dan biru polos.
Seperti halnya kain sarung, pada kain songket juga ada pembagian desain kain antara lain
adalah yang disebut bagian kepala yang diletakkan di bagian tengah dan yang disebut badan
yang diletakkan di belakang kain lainnya. Pembagian desain songket dari Manggarai dan
Ngada ini juga membentuk bagian badan dan kepala, dengan motif yang berbeda di kedua
bagian tersebut. Saat dikenakan, bagian kepala biasanya diletakkan di bagian depan dan
bagian badan diletakkan di belakang. Di Flores, kain tenun biasanya dikenakan hingga setinggi
dada. Dalam perkembangannya, mereka menggunakan kebaya yang pemakaiannya
dimasukkan dalam sarung. Cara memakai kain sarung seperti ini hampir sama dengan cara
wanita Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau Kaili dan Donggala di Sulawesi Tengah.
Sikka
Pada mulanya kain adat Flores untuk wanita berbentuk sarung setinggi dada dan dilipat di
bagian depan. Di bagian pinggang pemakai dikenakan ikat pinggang dari perak. Mereka tidak
menggunakan kebaya atau blus. Namun kini ada variasi lain dari cara pemakaian kain sarung,
di mana lipatan kain sarung diikat di salah satu bahu sehingga agak terangkat ke atas pada
salah satu sisinya.
Cara pemakaian kain di Flores ada bermacam-macam. Lain daerah atau suku, bisa berbeda
pula cara pemakaiannya. Perempuan suku Sikka di Maumere, Kabupaten Sikka, menggunakan
kain sarung sebatas pinggang yang disebut utan, yang dipadukan dengan baju kebaya yang
disebut labu, yang modelnya mirip kebaya Maluku. Utan dengan ragam hias yang diberi warna
gelap atau hitam disebut utan welak. Paduan kain dan labu ini masih dirasa kurang bila tidak
menggunakan selendang yang disebut dong. Penampilan kaum perempuan ini masih
dilengkapi tusuk konde dari emas atau perak yang tinggi berbentuk bunga, yang disebut bunga
 2 / 7Tenun Ikat Flores
we. Hiasan tusuk konde serupa ini dipakai juga dalam pakaian adat Ende.
Kaum pria suku Sikka memakai kemeja yang juga disebut kebaya labu dan celana panjang. Di
luar celana mereka mengenakan sarung yang disebut lipa atau utan yaitu jenis kain sarung
orang Sikka yang berwarna biru tua atau biru hitam dihiasi dengan jalur-jalur biru muda atau
biru toska. Mereka pun mengenakan selendang lebar yang disampirkan di bahu sampai dada
yang disebut lensu sembar. Sebagai penutup kepala para laki-laki biasanya menggunakan
destar. Destar mereka kadang-kadang justru terbuat dari bahan batik Jawa. Selain itu ada hal
lain yang khas dalam pakaian adat Sikka, kain tenun warna hitam atau gelap hanya dipakai
oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun dengan warna
terang dan menyolok.
GENERAL PRODUCT KNOWLEDGE OF IKAT SIKKA-FLORES
Kebiasaan masyarakat Sikka dalam kesehariannya dan tiap ceremony adat atau agama, selalu
memakai kain tenun atau sarung adat. Sebutan U’tang Sikka untuk sarung perempuan dan lipa
Sikka atau ragi Sikka untuk sarung laki-laki.
Jenis motif dan warna serta desain unsur tertentu masih harus dibagi lagi untuk peruntukan si
pemakai dari strata apa, usia, jenis kelamin, untuk kegiatan apa, dan kapan waktu dipakai.
Jenis tenunan tsb terdiri dari: Kain tenun ikat, Kain tenun prenggi, Kain tenun liin, Kain tenun
neleng, Kain tenun itor. Jenis kain adat artinya full motif yang “rich” terdiri dari hurang kelang (
jalur-jalur ikat dan non ikat) dan bermutu tinggi karena mempunyai nilai filosofi / pesan khusus
dan prosesnya dengan upacara khusus dalam hampir tiap tahapan prosesnya. Lapisan-lapisan
bagian motif yang disebut sebagai satu-kesatuan hurang kelang yang terdapat dalam suatu
unsur kain tenun atau sarung berbeda tergantung pada jenis motifnya. Motif teridentifikasi pada
bagian ina gete (main motif) yang merupakan nama dari motif kain tsb.
Proses pembuatannya juga sangat rumit dan butuh ketelitian tinggi dalam menuangkan
imajinasi karena desain suatu motif tanpa digambarkan terlebih dahulu dalam suatu pola tetapi
secara langsung dituangkan secara imajinatif yang akan terbentuk suatu pola motif yang dituju.
Pewarna yang digunakan pun tergantung dari dominansi tumbuhan yang tumbuh sebagai
habitat di daerah tersebut. Proses pewarnaan merupakan unsur seni dalam memadukan
kombinasi warna yang sudah secara lasim dihasilkan. Ada yang warna tunggal dan warna
kombinasi bersusun. Paduan warna ada yang double color, yang tentu saja pengerjaannya pun
makin rumit dan proses yang lama juga ada upacara khusus dan ada pantangan-pantangan
tertentu agar hasilnya sempurna.
Ada kain tenun yang proses penembakan pakannya menggunakan benang pakan yang sudah
terbentuk motifnya, maka harus tepat penempatan motifnya secara langsung saat ditenun.
Karena pakan jenis ini sudah melalui proses ikat pada pakan bukan diikat pada benang lungsi.
 3 / 7Tenun Ikat Flores
Jenis ini hanya seniwati penenun yang daya imajinasinya tinggi.
Juga ada kain tenun yang pembentukan motifnya tanpa ikat tapi langsung dengan permainan
unsur pakan selama menenun. Pembentukan motifnya secara langsung saat menenun. Jenis
ini juga hanya penenun dengan ketrampilan tinggi.
Ada juga kombinasi permainana warna spiral pada benang pakan yang menggunakan alat
pintal, sehingga mutu kain yang dihasilkan bisa terbentuk modifikasi warna/i dan tekstur yang
menarik.
Pekerjaan budaya tenun ini dilakukan perempuan Sikka hampir di tiap rumah tangga yang
masih memegang unsur budaya adat yang diteruskan secara turun-temurun dari nenek ke ibu,
dan dari ibu ke anak, dan dari anak ke cucu, dst. Semasa sebelum menjelang millennium,
biasanya ibu yang mengajarkan putrinya (biasanya yang tinggal di desa) menggunakan cara
pemaksaan untuk menenun agar juga bisa sebagai parameter untuk bisa menikah, karena
secara adat perempuanlah yang memberikan tenunan-tenunan yang bermutu bagi calon
suaminya. Mutu dari kain tenun yang diberikan akan digantikan juga dengan emas Sikka yang
disebut tibu, suatu bentuk khas emas Sikka.
Daerah Lio
Salah satu daerah di Flores bagian timur yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun
ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola
India berupa motif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok, kain dari Lio
ini juga dihiasi dengan motif daun, dahan, dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para
pedagang dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan
pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari nusantara bagian timur, termasuk di Flores.
Bangsa Portugis, dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan
pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris yang menyebarluaskan
agama Kristen Protestan dan Katholik. Hingga saat ini agama Kristen banyak penganutnya di
Flores.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah
tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif-motif patola yang diperuntukkan khusus
bagi kalangan raja-raja, pejabat, dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio
dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau
pendiri kampung yang disebut musalaki. Bahkan kain ini dianggap sangat istimewa hingga ikut
dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio yang
panjangnya sampai empat meter, yang disebut katipa, digunakan sebagai penutup jenazah.
Menurut P. Sareng Orinbao dalam bukunya Seni Tenun Suatu Segi Keburinycum Orang Flores,
 4 / 7Tenun Ikat Flores
kata katipa sendiri mempunyai arti yang sama dengan patola, karena berasal dari lafal
penyebutan tipa tola. Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya kecil dengan bentuk
geometris, manusia, biawak, dan lain-lain, yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna
merah atau biru di atas dasar warna gelap.
Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik dan kulit
kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam upacara-upacara adat
tertentu. Di Pulau Sumba, kain sarung yang diberi hiasan manik-manik seperti itu hanya dipakai
oleh wanita kalangan bangsawan saja.
Selain terkenal dengan tenunannya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan
rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada suatu kesamaan
ragam hias pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris
seperti bentuk meander, kait, belah ketupat, tumpal, dan lainnya, yang sering terdapat pada
ragam hias ikat pada kain tenun dan anyaman.
Kain sarung Lio
Tenun ikat dari Lio menunjukkan kemahiran tenun dengan motif ikat yang halus dan rumit.
Ragam hias pada kain dari daerah Lio menunjukkan banyaknya pengaruh kain patola dalam
pembuatannya, seperti pada kain sarung ini. Kain ini dibuat dengan latar warna cokelat tua,
diberi ragam hias berwarna cokelat muda campur kuning bergaris geometris dalam bentuk
flora. Ragam hias dibagi dalam beberapa jalur. Jalur besar di tengah diapit jalur kecil dan di
kedua ujung kain terdapat jalur¬jalur motif flora sebagai hiasan ujung dan hiasan pinggir.
Kain sarung yang mempunyai dua latar/dasar warna, yaitu tiga bagian berlatar gelap (cokelat
hitam) dan satu bagian berlatar merah. Pada latar yang berwarna cokelat hitam dihiasi dengan
motif patola ceplok bunga bersudut delapan warna kuning. Pada latar kain berwarna merah
diberi ragam hias jalur-jalur yang diisi motif tumpal gaya pepohonan dan ranting-ranting serta
ragam hias geometris.
 
Daerah Ende
Hasil tenunan di daerah Ende bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di pesisir selatan Flores,
memungkinkan orang-orang
Ende berhubungan dengan bangsa pendatang seperti orang Eropa. Tenun Ende lebih banyak
menggunakan warna cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif ala Eropa.
Salah satu ragam hias kain Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lain adalah
hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang
dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai
tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Flores pada umumnya
tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping, kedua
ujung, atau pinggir kain. Kain berlatar belakang hitam. Ragam hias pada kain ini ada pada
jalur-jalur horisontal yang memberi kesan seperti gemerlap cermin, yang diwujudkan dalam
 5 / 7Tenun Ikat Flores
pembiasan garis geometris. Kain ini terdiri dari dua helai yang digabung dengan jahitan tangan.
Pada jalur besar tampak motif ceplok bunga, yang diilhami oleh kain patola. Pengaruh kain
patola juga tampak pada adanya barisan tumpal.
Lembata
Selain Lio, daerah di Flores bagian timur yang terkenal dengan kain tenun ikatnya adalah
Lembata. Di daerah ini, khususnya daerah Lamalera menurut Ruth Barnes dalam tulisannya
The Bridewealth Cloth of Lamalera Lembata, disebutkan bahwa hanya kain sarung untuk
wanita yang memakai motif ikat yang disebut mofa. Kain sarung wanita itu sendiri disebut
kewatek. Kain sarung untuk laki-laki tidak memakai motif ikat. (Kain sarung untuk wanita
berfungsi sebagai pemberian dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki dalam upacara
perkawinan).
Ada dua jenis tenunan kain sarung ikat Lembata yaitu kewatek nai rua dan kewatek nai telo.
Kewatek nai rua adalah kain sarung yang tenunannya terdiri atas dua bagian kain yang
digabungkan. Kewatek nai telo adalah kain yang paling tinggi nilainya. Kain ini terdiri atas tiga
bagian yang disambungkan menjadi satu sarung.
Kain Sarung Lembata
Tenun Lembata mempunyai ciri khas dengan dua atau tiga sambungan. Kain ini dipergunakan
sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dari pihak keluarga perempuan, dan
dipertukarkan dengan gelang-gelang dari gading gajah yang sangat berharga yang diberikan
oleh keluarga pihak laki-laki. Semua jenis mas kawin ini merupakan warisan yang diberikan
turun-temurun.
Koleksi: Eiko Kusuma
Kain Sarung Ngada
Kain sarung dari Ngada ini mempunyai keunikan di mana bagian kepala berwarna biru tua dan
bagian badan kain di kiri dan kanan berwarna merah. Motif ragam hias ikat floral terletak pada
bagian tengah kain. Hiasan pinggir atas dan bawah berupa tumpal bentuk daun. Pada jalur ikat
di badan kain diisi motif sulur daun.
Koleksi: Eiko Kusuma
Kain Sarung Alor
Kain sarung yang dihiasi jalur-jalur garis bermotif geometris berselang-seling jalur garis kecil
dan garis besar berwarna kuning kemiri, hitam, merah kecokelatan, dan jingga.
Koleksi: Anjungan NTT TMII
[gorys+keraf.jpg]


Prof. Dr. Gorys Keraf [RIP] sangat dikenal di Flores, khususnya Lembata. Dia memang lahir di Lamalera, Lembata, pada 17 November 1936. kampung Lamalera ini sangat unik karena punya tradisi memburu ikan paus dengan fasilitas yang sangat sederhana: tombak (tempuling) naik peledang alias perahu bercadik ukuran kecil.

Gorys Keraf atau panjangnya Dr Gregorius Keraf merupakan sumber inspirasi sekaligus intelektualitas orang Lembata dan Flores umumnya. Maklum, pada 1980-an dan 1990-an masih sangat sedikit orang Flores yang bisa meraih gelar doktor, profesor, atau menjadi intelektual ternama di Indonesia.

“Kita, orang Lembata, layak bangga punya Gorys Keraf. Beliau doktor linguistik yang sangat langka di Indonesia,” kata Paulus Lopi Blawa, almarhum, bekas guru sekolah dasar saya di kampung Mawa, Ile Ape, Lembata.

Tak hanya Paulus, banyak lagi guru SD/SLTP/SLTA yang menyebut-nyebut nama Gorys Keraf untuk memompa motivasi anak-anak Lembata agar belajar rajin dan tekun.

Namanya juga anak kecil, saya hanya mendengar sambil lalu saja nama Gorys Keraf disebut-sebut. Baru pada 1980-an saya menemukan buku TATABAHASA INDONESIA terbitan Nusa Indah (Ende) lusuh di kamar rumah Bapak Gaspar Kotak Hurek di Lewoleba. Pengarangnya Gorys Keraf. Saya coba membaca uraian-uraian Pak Gorys yang sangat ilmiah dan sulit untuk anak desa belasan tahun seperti saya.

Oh, ini to buku karya Gorys Keraf, yang namanya banyak disebut-sebut di koran dan guru-guru sekolah itu?

Meskipun sulit, saya paksakan membaca buku itu. Sejarah bahasa Indonesia. Tatabahasa. Fonologi. Vokal/konsonan. Morfologi. Sintaksis. Saya membaca dan membaca terus meskipun tidak ada yang bisa diingat. "Jangan lupa dwilingga salin suara dan dwandwa," begitu guyonan teman saya, Johny, di Larantuka dulu.

Hehehe.... Dwilingga salin suara dan dwandwa merupakan istilah 'aneh' ciptaan Gorys Keraf.

Baru setelah masuk SMP San Pankratio [sore] di Larantuka, prinsip-prinsip tatabahasa ala Gorys Keraf diuraikan secara mendalam oleh pak guru, Bung Aldo. Guru-guru bahasa di Flores Timur umumnya memang pengagum Gorys Keraf. Apa boleh buat, pelajaran bahasa Indonesia di SLTP/SLTA pun cenderung berisi rumus-rumus seperti termuat dalam buku Gorys Keraf.

“Segala kata yang dapat mengambil bentuk se + reduplikasi + nya serta dapat diperluas dengan paling, lebih, sekali, adalah kata sifat”.

Penekan pada tatabahasa ala Gorys Keraf jelas saja membuat pelajaran bahasa jadi kering. Pelajaran mengarang atau menikmati bahasa sangat jarang diberikan. Tak heran, ketrampilan berbahasa anak-anak Lembata/Flores, kemampuan berwacana, kurang berkembang dengan baik. Toh, ilmu bahasa versi Gorys Keraf, guru besar Universitas Indonesia ini banyak membantu saya memahami berbagai fenomena kebahasaan di kemudian hari. Apalagi, saya wartawan, setiap hari bergelut dengan bahasa.



Gorys Keraf yang tamatan SMP Seminari Hokeng, kemudian SMA Syuradikara, Ende, ini juga dikenal sebagai penulis buku-buku bahasa yang produktif dan sangat ilmiah. Selain opus magnum-nya TATABAHASA INDONESIA, almarhum Gorys Keraf juga menulis buku-buku lain seperti KOMPOSISI, EKSPOSISI DAN DESKRIPSI, ARGUMENTASI DAN NARASI, kemudian diksi dan GAYA BAHASA. Buku-bukunya diterbitkan Nusa Indah (Ende) dan PT Gramedia (Jakarta).

Sebagai informasi tambahan, orang-orang Lamalera sejak dulu dikenal cerdas, otak encer, tekun, melahirkan pastor dan tokoh-tokoh terkenal. Fam Keraf di Lamalera ini pun banyak menelurkan orang-orang hebat. Begitu juga fam (marga) Beding.

Kita tentu ingat Dr. Sonny Keraf, ahli filsafat, bekas Menteri Lingkungan Hidup, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. Ia masih kerabat dekat almarhum Gorys Keraf. Di Surabaya ada Pastor Petrus Sonny Keraf SVD, kepala Paroki Sakramen Mahakudus Pagesangan. Pater Sonny ini suaranya tegas saat khotbah, ilmiah, dan runut… khas orang Lamalera. Pater ini juga secara spontan mengedit teks misa yang tata bahasanya buruk.

Kata teman-teman di kampung, orang Lamalera pintar-pintar karena sejak kecil makan daging ikan paus. Barangkali saja!

Lamalera, kotekelema dan nelayan tradisional

LAMALERA telah lama identik dengan tradisi berburu ikan paus. Identik dengan kisah para nelayan tangguh melawan ikan paus yang ganas dan kuat. Betapa gagah perkasanya sang juru tikam ketika meloncat dengan semangat membara ke tengah laut menancapkan tempuling (sebatang besi dengan ujung yang runcing) ke tubuh ikan sebesar kapal ikan nelayan atau kapal penumpang rakyat sekitar 20 meter panjangnya.
Ikan paus jenis kotekelema, sebutan nelayan Lamalera terhadap ikan paus yang menyusui anaknya, merupakan jenis ikan paling dicari. Itu tak berarti ikan besar lainnya, seperti ikan seguni, pari, lumba-lumba dan ikan hiu, tak dicari. Ikan-ikan ukuran kecil yang saban hari dijual di pasar juga dicari nelayan.
Pencarian ikan paus juga tak terbatas pada musim leva, yakni musim pencarian ikan paus. Bila sebelum atau setelah musim leva ditemukan ikan paus lewat di perairan Lamalera, tak akan dibiarkannya. Tetapi, situasinya akan lain dibanding pencarian pada musim leva yang direstui adat dan gereja.
Berburu ikan paus, bagi nelayan Lamalera, adalah mata pencaharian utama. Sama seperti petani, buruh, guru, pegawai negeri sipil dan swasta, tentara, polisi, pengusaha, dokter, kontraktor atau profesi lainnya.
Kalau pegawai kerja di kantor, dokter dan bidan melayani pasien di rumah sakit atau petani berada di sawah dan ladang, maka nelayan Lamalera memilih laut sebagai "lahan" garapan. Berburu ikan paus juga identik dengan petani memacul di ladang atau petani sawah membajak sawah dan pegawai pemerintahan melayani masyarakat.
Karena itu, mereka terikat dengan tata cara dan tata krama, adat dan kebiasaan. Menjunjung tinggi adat kebiasaan yang diwariskan leluhur dahulu maupun kepatuhan kepada ajaran agama dan gereja—cinta kasih harus menjadi landasannya. Pelanggaran adat dan kebiasaan, nyawa akan jadi taruhan. Tidak terhitung, berapa banyak kecelakaan menimpa nelayan Lamalera ketika melakukan "pencarian hidup" di laut. Diseret ikan paus sampai berpuluh-puluh mil jauh dari kampung halamannya sering dialami. Namun, semangat dan motivasi mereka memburu ikan paus tak akan berhenti.
Peristiwa tanggal 10 Maret 1994 masih segar dalam kenangan nelayan Lamalera. Kisahnya ketika sekitar pukul 11.30 Wita, sekawanan ikan paus lewat di depan perairan Lamalera. Dua pledang (perahu) ditumpangi para nelayan memburunya. Dua ekor paus, seekor induk dan seekor anak kena tempuling pada posisi 1,5 mil dari pantai. Sukacita tergurat di raut wajah mereka. Sebuah pledang berhasil menarik pulang seekor anak ikan paus, namun pledang lain harus lawan induk ikan paus yang terus menarik pledang ke tengah laut.
Ditarik ikan paus masuk ke laut lepas bukan hal baru. Sudah sering mereka alami. Sebab, ketika darah ikan keluar makin banyak dari banyaknya luka tikaman di tubuhnya, maka tiga sampai empat jam, tenaganya terkuras habis dan akan mati. Selanjutnya paus ditonda ke pantai.
Namun menjelang senja berganti malam, ikan paus belum juga tewas. Bahkan, para nelayan semakin jauh diseretnya. Sebanyak 34 nelayan menumpang tiga pledang mengikuti pergerakan ikan paus ini, kalah kuat. Waktu terus berlalu, mereka terus terseret ikan dan dibawa arus ke lautan lepas. Tak tahunya sampai keesokan hari 11 Maret 1994, perjuangan nelayan membawa pulang ikan paus belum juga berhasil. Sampai akhirnya memutuskan ikatan tali pledang dan ikan paus. Ikan dilepas, entah masih hidup atau telah mati.
Keadaannya semakin menakutkan. Tanggal 12 Maret 1994, pledang Kebako Pukang pecah dihantam arus laut yang kencang. Pledang ini pun dilepas. Hanya dua pledang tersisa, Kelulus dan Kena Pukang diikatkan satu sama lain agar para nelayan tidak tercerai-berai di tengah amukan gelombang Laut Sawu. Ternyata, pledang Kelulus juga tak kuat menahan ombak. Lambung perahu ini bocor, kemasukkan air lalu dibiarkan tenggelam.
"Paus induk ini rupanya marah karena anaknya dibunuh. Dia mengamuk dan seret kami semua. Keadaan saat itu mengerikan. Kami diseret dan terombang-ambing selama empat hari lima malam di laut. Istri, anak dan keluarga di kampung menunggu cemas. Apakah kami selamat atau mati tenggelam. Kampung ini bagaikan mati. Semua orang terdiam dan berkumpul di pinggir laut menunggu kabar," kisah Philipus Beda Kerong (54), didampingi istrinya Ny, Agnes Kewa Oleona (45) di kediamannya, Senin (30/4/2007) malam.
Ny. Agnes, kala menunggu di rumah dengan anak sulung mereka berusia tiga tahun, tak kuat menahan gejolak bathin. Sedih, cemas dan takut yang melanda hatinya juga dirasakan orang sekampung dan istri-istri yang lain. Semuanya menanti penuh kebingungan kabar suaminya. Apakah selamat atau mati ditelan gelombang lautan. "Waktu itu, anjing saja tidak gonggong. Kampung ini seperti mati. Tak ada bunyi-bunyi, semua diam dengan perasaannya," sambung Ambros Oleona, care taker Kepala Desa Lamalera A ketika itu.
Hujan dan angin ribut di lautan membuat kondisi tubuh para nelayan kian lemah. Philipus mengakui ia dan beberapa nelayan terserang sakit pilek dan panas, meski tak sampai parah.
Mengingat lagi peristiwa 14 tahun silam, Philipus menuturkan, kejadian itu memberi makna beratnya perjuangan hidup nelayan Lamalera bertempur dengan maut menghidupi anak dan istri di rumah. Namun, ketika tugas itu dilakukan dengan benar dan tidak melanggar etika adat dan gereja, keselamatan selalu berpihak pada nelayan.
Setelah empat hari lima malam terombang-ambing di laut lepas, tepat pukul 23.45 Wita, tanggal 15 Maret 1994 datanglah bala bantuan kapal Spice Island. Mereka ditemukan terapung pada posisi 76 mil laut arah barat Pulau Semau dan 45 mil dari daratan Pulau Flores. Kapal ikan yang dinakhodai Sebastinus Fernandez asal Larantuka, Flores Timur, membawa nelayan Lamalera ke Kupang.
Tiga hari mereka diinapkan di Aula Kanwil Departemen Sosial NTT. Gubernur NTT ketika itu, Herman Musakabe, datang menjenguk para nelayan. Apa katanya kepada para nelayan Lamalera? "Kami ditanya, apakah kami mau bertobat atau tidak menangkap ikan paus. Kami semua jawab spontan, kami punya mata pencaharian mencari ikan paus," tandas Philipus mengulangi pernyataan mereka saat itu.
Musakabe geleng-geleng kepala mendengar pengakuan para nelayan. Mereka akhirnya dipulangkan ke kampung halamannya menggunakan kapal feri KMP Ine Rie, turun di Pelabuhan Waibalun, Larantuka.

***

RISIKO berburu ikan paus bukan hanya sampai sebatas diseret dan terombang-ambing berhari-hari di laut lepas. Puluhan nyawa nela-yan Lamalera telah jatuh di lautan. Mereka semua mati ketika mencari ikan, tetapi semangat terus memburu ikan tak pernah pudar.
Sebelum tahun 1917 telah tercatat lima nelayan mati tenggelam, digigit ikan atau dililit tali leo. Sampai kejadian terakhir tanggal 2 April 1992, sudah tercatat 32 orang nelayan meninggal di laut. Ada yang tenggelem, dililit tali leo, dipukul ekor ikan paus atau digigit ikan hiu.
Nelayan Lamalera atau siapa saja mempercayai bahwa mati dan hidup bisa terjadi di mana saja. Di laut, di udara ataupun di darat, tak ada yang tahu akan nasibnya. Namun, bagi orang Lamalera, kecelakaan dan kematian nelayan di laut dipercayai ada hubungannya dengan adat dan tradisi. Kesalahan atau pelanggaran yang diperbuat nelayan terhadap istri, anak, sanak famili dan sukunya, kelak akan dihakimi ikan paus.
Sulit mempercayainya dan tidak rasional. Tapi kenyataannya demikian. Salah memasang pasak pledang, tak tahunya akan diberi tahu ikan paus ketika nelayan berhadapan dengan ikan. Dinding pledang rontok dipukul ekor ikan. Itulah pertanda kesalahan pembuatan kapal.
Nelayan Lamalera yang hendak memburu ikan paus adalah orang-orang bebas dari masalah. Yang dituntut kebersihan jiwa dan raga. Apalagi yang bertindak sebagai juru tikam (lamava) hati harus bersih, bebas dari perbuatan dosa. Pengakuan ini berdasarkan pengalaman selama melaut dan kisah nenek moyang dan orangtua dahulu. "Jangan coba-coba bikin salah dengan suku, istri dan anak. Apalagi dengan anak perempuan orang. Nyawa kita jadi taruhan," tandas Philipus.
Kadangkala hanya diberikan peringatan oleh ikan. Tetapi, sumpah serapah orang yang ada di darat, nelayan di laut bisa jadi tumbal. Karena itu, sebelum melaut yang bersalah dan berselisih berterus terang mengakui perbuatannya. Kalau tak sempat, bisa dengan sesama awak pledang agar rezeki selalu dekat dan dijauhkan dari musibah.
Tentang jatuhnya korban nelayan, Pastor Paroki St. Petrus Paulus Lamalera, Rm. Yakobus Dawan, Pr, mengatakan pekerjaan apa pun ada risikonya. Tetapi, bagi nelayan Lamalera, korban yang pernah jatuh di laut merupakan akumulasi dari kesalahan manusia (nelayan) dengan masyarakat (suku), istri, anak dan sanak famili. Meski sering juga karena kelengahan manusia, kematian dan kecelakaan itu dipercayai akibat pelanggaran atau kelalaian terhadap adat dan tradisi.
Suatu hal yang positif, apabila seluruh masyarakat dan nelayan bersekutu dalam suatu suasana persaudaraan, kekeluargaan akan diperoleh hasil melimpah. Tapi jika yang terjadi percekcokan dalam keluarga, suku dan masyarakat, tangkapan dan nelayan jadi korban.
Meskipun korban sering jatuh, pencarian ikan paus tak berhenti. Semua itu demi kelangsungan rumah tangga, anak dan istri. Daging, minyak, tulang dan gigi ikan paus ibarat panen yang didapat dari kebun dan ladang. Kaum ibu dan wanita menjualnya ke pasar jadi uang atau menukarkannya dari rumah ke rumah dengan beras, jagung, ubi, pisang milik petani di gunung-gunung. (eugenius moa/bersambung)

Sumber Pos Kupang Jumat 25 Mei 2007

Warga Lamalera Khawatir Tak Lagi Berburu Paus

 

BANJARMASINPOST.CO.ID, LEWOLEBA - Sekitar 120 warga Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Senin (29/11/2010), mendatangi kantor DPRD Lembata untuk menyatakan sikap menolak konservasi Laut Sawu karena khawatir tidak bisa lagi berburu ikan paus.

Selama beberapa waktu terakhir, pemerintah bersama DPRD Lembata membahas konservasi Laut Sawu, yang antara lain mengatur tentang batas kawasan laut yang berada dalam kewenangan kabupaten yakni empat mil dari pesisir pantai.

Itu artinya, ruang gerak para nelayan Lamalera menjadi sangat terbatas. Padahal, dalam berburu ikan paus para nelayan Lamalera berlayar sampai wilayah perairan dimana mereka hanya melihat puncak gunung di Lembata. Dengan penetapan kawasan konsevasi Laut Sawu, maka nelayan tidak bisa berbuat apa-apa.

Kepada Pos Kupang, sebelum berdialog dengan dewan, Bartolomeos Lasan Krova (68), dan Stefanus Sengaji Lamakeraf (58), mengatakan, pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil keputusan untuk nenetapkan kawasan konservasi laut. Sebab laut adalah ladang para nelayan Lamalera. Kegiatan berburu ikan paus merupakan tradisi warisan nenek moyang.

"Kami punya sebuah perahu tradisional yang diberi dua nama, yakni di salah satu bagiannya diberi nama warisan pusaka. Sementara bagian lainnya, ditulis pusaka mahal. Jadi bagi kami masyarakat awam ini merupakan pusaka yang mahal dan tidak boleh dibiarkan punah," utai Krova.

Dia menjelaskan, Gubernur NTT Herman Musakabe pernah memanggil mereka ke Kupang pada tahun 1994 lalu. Dan Musakabe sendiri mengakui bahwa nelayan Lamalera adalah pahlawan laut.

"Waktu bertemu gubernur di Kupang waktu itu, gubernur tanya kami, apakah setelah kembali ke sini (Lamalera), kami akan tetap tikam (berburu ikan paus), kami semua jawab bahwa kami akan tetap tikam. Dan gubernur mengatakan, kamu orang Lamalera memang benar-benar pahlawan laut," tutur Krova.

Tetap Buru Paus
Dalam dialog dengan Ketua DPRD Lembata, Drs. Yohanes de Rosari, didampingi wakil ketua, Hyasintus Burin dan Sekda Lembata, Petrus Toda Atawolo, disepakati bahwa masyarakat Lamalera tetap berburu ikan paus seperti yang dilakukan selama ini, yakni hingga mencapai pesisir Pulau Pantar.

Masyarakat Lamalera datang ke Lewoleba dengan menggunakan lima pledang (perahu untuk berburu paus) dan empat buah perahu tradisional, yang membawa masyarakat laki-laki dan perempuan. Seluruh masyarakat Lamalera yang ikut dalam aksi ini, bermalam di Pantai SGB Bungsu Lewoleba, Kelurahan Lewoleba Utara, dan baru kembali ke Lamalera kemarin pagi.

"Kami besok pagi (Selasa 30/11/2010 pagi, Red) baru pulang. Tetapi karena sudah ada jaminan dari DPRD bahwa kami tetap boleh melaksanakan aktivitas perburuan kami sebagaimana biasa, kami akan melintasi perairan sampai ke pesisir selatan Wulandoni, dan mungkin akan berputar dua sampai tiga kali dulu baru kembali masuk ke Lamalera. Karena ini merupakan sebuah kemenangan, yang harus disyukuri bersama dengan berlayar melintasi perairan tempat kami biasanya berburu," urai Krova saat ditemui di Pantai SGB Bungsu-Lewoleba, kemarin sore.